Rabu, 25 Januari 2012

Rindu

Purnama tak lagi tampak menerangi gelap

Langit mengadu pada gumpalan awan hitam

Tanah berbisik pada batu dan kerikil

Dedaunan menari bersama penghuni malam

Sobekan kertas terlelap memenuhi lantai

Kemarin, masih seperti itu


Belum sempat mengecup kening, membagi serpihan duka

Belum sempat melepas tawa, menebar ‘jaring-jaring’ suka

Belum sempat berucap manis, berbagi macam rasa

Hanya terdiam membisu,

Meratapi punggung itu perlahan menjauh

Langkah yang tak pernah mundur

Langkah yang bersih tak berjejak

Hati menjerit memanggil raga

“Bisakah mundur walau selangkah ?”

Tak ada jawaban


Tatapan kosong memenuhi ‘darah’

Mengalir menutupi duka di wajah

Bibirpun enggan berkata

Bagaimana aku menyusulmu dalam diam

Bagaimana aku merangkulmu kembali ke pelukan

Hanya bisa meratapi sesal yang berbinar,

dengan goresan kecil yang senantiasa kekal


Kurindu sesungging senyum di wajah itu lagi

Kurindu tatapan kasih di mata itu lagi

Kurindu usapan lembut di tangan itu lagi

Kurindu pelukan kasih di dada itu lagi

Dan sekali kali lagi,

aku rindu semua tentangmu


Oleh : Nur Azikhin

Si Hidup

Untukmu yang tak pernah mengenal duka

Senantiasa kekal di balik layar pertunjukan

Menyapu gelap dengan goresan pena

Skenario berjalan mengikuti garis Tuhan


Tak ada waktu untuk setetes air mata

Untuk bincang-bincang yang tak berguna

Untuk goresan kecil yang semakin membabi buta

Dan untuk angan-angan yang berangsur nyata


Untukmu, wahai sang hidup

Menunggu jemputan dari sang Agung

Melangkah mengikuti arus hidup

Melahap jalan yang tak berujung


Si hidup yang akan senantiasa hidup

Menebar senyum yang tak berbendung

Manyapa mentari bersama tetesan embun

Melebarkan sayap tanda berserah


Oleh : Nur Azikhin

Aku bertanya

Sejenak aku terdiam,

Terpaku pada malam

Ingin bertanya pada kegelapan

Akankah bintang seperti awan ?

Akankah bulan seperti matahari ?


Sejenak aku terdiam,

Terpaku pada masa depan

Ingin bertanya pada waktu

Akankah kebahagiaan seperti angin ?

Akankah kesediahn seperti hujan ?


Sejenak aku terdiam,

Terpaku pada keadaan

Ingin bertanya pada pada diri

Akankah aku seperti dia ?

Ataukah dia seperti aku ?


Oleh : Nur Azikhin

Kado Terakhir Untuk Adik

Sunyinya malam tak lagi menghampiri rumah mewah diseberang jalan itu. Terdengar lantunan Surat Yasin dibacakan dengan suara sendu. Para tetangga tak henti berdatangan melayat. Meramaikan Rumah Mewah nan besar milik Pengusaha ternama di Kompleks itu. Tampak dari kejauhan, 2 buah sedan hitam BMW bertengger di garasi mobil yang terbuka. Bendera kuning kini menghiasi rumah besar berlantai 2 itu. Angin malam membelai kulit putih si gadis kecil. Gadis kecil yang tak berdosa. Si gadis kecil yang baru saja kehilangan Ayah dan Ibunya dalam kecelakaan pesawat siang tadi. Kini hanya bertumpu pada seorang kakak laki-lakinya.

Seakan tak mengerti arti kepergian kedua orang tuanya, Ananda hanya bisa menatap Ayah dan Ibunya yang terbaring tak berdaya dengan sehelai kain putih. Tatapan itu penuh arti. Bukan tatapan kesediah, bukan pula tatapan kebahagiaan. Tak ada yg mengerti arti tatapan itu, namun Riko tahu betul akan arti tatapan adik kecilnya.

“Kakak… Ayah dan Ibu kok tidur sih ? Kan lagi banyak orang”. Tanya Ananda polos sambil mendongakkan kepalanya pada Riko yang sedang memangkunya.

“Ayah dan Ibu enggak tidur sayang. Tapi mereka sudah pergi bertemu Allah di Syurga” Jawab Riko sambil tersenyum menahan tangis yang tak ingin ia perlihatkan dihadapan Nanda.

“ Syurga itu tempat apa kak? Apa seperti di Ancol ? Banyak Bonekanya enggak ? Kok Ayah dan Ibu enggak ngajak kita pergi kesana ?

“Syurga itu adalah tempat yg paaaaaaaaalliiiing indah. Lebih indah dari Ancol. Dan tak ada tempat di dunia ini yang seindah Syurga. Suatu hari nanti, Kakak dan Nanda juga akan pergi kesana menyusul Ayah dan Ibu.” Katanya dengan suara yang bergetar sambil mendekap erat adik kecilnya itu. Kali ini Riko tak sanggup menahan tangis.

“Kok kakak nangis ?“ Kakak sedih yah enggak diajak Ayah dan Ibu ke Syurga ? Nanti kan kakak perginya sama Nanda. Nanda sayang kakak, Nanda enggak akan pergi tinggalin kakak sendiri” gumam Nanda membalas dekapan erat kakaknya itu.

“Iya Nanda, kakak juga sayang banget sama Nanda” selip Riko dalam tangisnya.

Malam sudah larut, para tetangga yang datang melayat, saling berlomba untuk pamit. Tapi Nanda tak kunjung tidur. Masih terpikir olehnya maksud dari jawaban Riko akan kepergian kedua orang tua mereka.

“Pergi ke syurga ? Bertemu Allah ? Apa Allah enggak ada di dunia? Seperti apa sih Allah itu ?” Lagi-lagi bibir kecil Nanda bergumam saat Riko hendak menyelimutinya. Bibir kecil yang tak henti bertanya.

“ Allah itu yang menciptakan semua makhluk di dunia ini, termasuk Ayah, Ibu, Kakak dan Nanda. Meski tidak bisa terlihat dengan mata, tapi Allah selalu ada di dekat Nanda. Sangat dekat dengan Nanda, bahkan lebih dekat dari urat leher Nanda. Allah Maha Penyayang pada semua makhluknya. Jadi, kalau Nanda sedang bersedih, Nanda bisa mengadu pada Allah. Dan meskipun sekarang Ayah dan Ibu sudah tidak bersama kita lagi, tapi mereka juga akan selalu ada disini, didalam sini.” Jelas Riko sambil melengketkan telapak tangan kanan Nanda ke dadanya.

“ya sudah sekarang Nanda tidur yah, malam sudah sangat larut.” Perintah Riko meyakinkan Nanda agar tak lagi terpaku pada jawabannya kali ini.

“iya kak” Nanda tersenyum manis. Sepertinya ia puas akan penjelasan Riko. Meski tak begitu mengerti arti perkataan Riko tadi, namun Nanda tahu betul Riko akan selalu bersamanya.

***

Genap sudah satu tahun setelah kepergian orang tua mereka. Selama satu tahun terakhir itu juga, rumah Mewah nan besar itu hanya di huni oleh Riko dan Nanda bersama dua orang pembantu dan seorang sopir pribadi.

Nanda sedang duduk seorang diri di teras rumah, sambil menggenggam dolphin doll biru berukuran sedang hadiah ulang tahun pemberian Ayah dan Ibunya tahun lalu. Riko masih belum selesai shalat isya, para pembantu dan sopirnya pun sudah tertidur pulas usai makan malam.

“Dolphin, bagaimana yah kabar Ayah dan Ibu disana ?” Katanya memandang beberapa bintang yang bersinar terang. Sang bulan tak tampak malam ini, begitu juga hujan yang kerap kali menemani tidur Ananda. Cahaya lampu jalan yang ada di tiang listrik di depan rumahnya, menerangi jalan dan halaman setiap rumah di kompleks itu. Nyanyian merdu beberapa pasang jangkrik dan jeritan kodok yang tiada henti melengkapi kesendiriannya.

“Ternyata kamu disini yah, pantesan kakak cari dikamar Nanda enggak ada” Kata Riko menghampiri Nanda dengan peci yang masih melekat erat dikepalanya.

“Kakak. Udah selesai shalat ?”

“Udah dong. Nanda belum shalat yah ?” Riko tersenyum sambil menempelkan jari telunjuknya ke hidung pesek Nanda.

“Belum kak. Nanda belum shalat” Nanda tersenyum lebar memperlihatkan gigi putihnya yang gingsul. Semenjak kepergian Ayah dan Ibunya, Riko mulai mengenalkan Agama pada Nanda. Tak heran di usianya yang masih 6 tahun, ia sudah rutin beribadah.

“Ya sudah, ayo masuk. Lagi pula sudah larut malam” Riko menggendong Nanda. Kemudian Kakak-beradik itu beranjak masuk.

Desiran angin malam mengakhiri percakapan kakak-beradik itu. Malam semakin larut, nyanyian jangkrik dan jeritan kodok mulai redup bersama angin malam yang berlalu lalang.

***

Terang menyapa hari Nanda. Dipagi yang basah, tetesan embun segar bergulat dengan sang mentari. Udara pagi tanpa polusi mengusik para makhluk untuk bangun. Sesekali gonggongan anjing para tetangga terdengar bersamaan dengan teriakan Ayam-ayam jantan yang berkeliaran disekitar kompleks. Dikamar yang tak begitu besar namun nyaman, Nanda masih tertidur pulas dengan dolphin doll yang didekapnya erat. Usai shalat subuh tadi, ia kembali tidur. Sedang Riko, telah bersiap dengan sarapan paginya dimeja makan. Menu sarapan pagi ini adalah “Sandwich Kacang Buah” buatan mbak Mirda, makanan favorit Riko dan Nanda.

Riko melahap dua porsi Sandwich itu dengan segelas susu coklat hangat. Baru saja Riko melangkah meraih tas yang ia letakkan di sofa ruang tamu, tiba-tiba bel rumah berbunyi. Ada orang diluar sana. Mbak Mirda bergegas menuju pintu depan.

“RUMAH INI DISITA”

Tulisan itu kini terpampang di pagar rumah diseberang jalan sana. Rumah mewah nan besar berlantai dua itu bukan lagi milik Pengusaha terkenal di kompleks itu. Hutang-hutang Ayah Riko dan Ananda yang tak kunjung dibayar, membuat rumah itu akhirnya disita oleh Bank.

Mereka masih berdiri diluar pagar bekas rumah mereka. Bergandeng tangan seperti wajarnya kakak-beradik. Meratapi rumah itu penuh kesedihan.

“kakak” Ananda mendongakkan kepalanya pada Riko yang memegang tangan kirinya. Mata coklat itu berkaca-kaca. Pipi merahnya basah. Riko tahu, adik kecilnya sedang bersedih. Sampai-sampai tak sanggup mengeluarkan suara tangisnya. Tangisan yang sangat wajar untuk gadis seusianya.

“Nanda sayang, jangan nangis yah. Kakak selalu ada kok buat Nanda. Kakak akan selalu jagain Nanda dan buat Nanda Bahagia” Riko berlutut menyeimbangkan tinggi badannya dengan Nanda, menghapus air mata yang membasahi pipi merah si adik kecilnya itu.

Bermodalkan beberapa potong pakaian dan uang tabungan seadanya, Riko dan Ananda beranjak meninggalkan kompleks dimana mereka lahir dan dibesarkan. Meninggalkan rumah yang menyimpan banyak kenangan bersama kedua orang tua mereka.

Kaki kecil Nanda tak henti melangkah mengikuti Riko. Ia yakin betul kakaknya ini akan menuntunnya memulai kehidupan baru mereka. Tanpa Ayah dan Ibu, tanpa sanak saudara dan tanpa rumah kenangan itu lagi.

Berjalan, berjalan dan terus berjalan. Merasakan dinginnya malam yang menyengat kulit. Mencicipi keramain malam dengan hingar-bingar lampu-lampu jalan yang kemilau. Mengenal lantunan merdu si bocah-bocah berkaleng kecil dan wajah-wajah sangar si preman jalanan. Suasana yang tak pernah mereka rasakan sebelumnya. Sesuatu yang baru. Sangat baru untuk mereka. Riko tak berharap lebih dari perjalan mereka ini. Namun kebahagiaan Nanda adalah hal yang paling utama baginya. Asalkan Nanda bahagia, apa pun akan ia lakukan untuk membahagiakan adik kecilnya itu. Nanda satu-satunya harta yang sangat berharga bagi Riko. Karena hanya Nanda yang ia miliki sekarang. Begitupun Nanda, juga sangat menyayangi Riko.

Malam itu mereka beristirahat di salah satu Musolah yang letaknya agak jauh dari hingar-bingar Ibu Kota.­­ Menghilangkan rasa penat yang amat sangat menguras tenaga.

***

“Aku ikhlas dengan segala kehendak dan takdir-Mu ya Allah. Tapi jangan pisahkan aku dan adikku Nanda. Bimbing kami agar senantiasa pada jalan kebenaran. Lindungi kami. Ampuni kami dan kedua orang tua kami. Tempatkan mereka pada tempat yang baik disisi-Mu. Amin”

Kalimat itu sangat kusyuk Riko lantunkan dalam do’anya seusai shalat subuh. Nanda terdengar mengamininya dari belakang.

Ketika mentari pagi menyambut, mereka meneruskan perjalanan. Mencari tempat lain untuk beristirahat malam nanti. Menelusuri sepanjang jalan Ibu Kota yang tak pernah sepi. Perlahan tapi pasti Riko yakin akan menemukan petunujuk untuk memulai lembaran baru mereka dalam kejamnya hidup di Ibu Kota.

Ini merupakan hari kedua setelah mereka tak lagi tinggal di rumah mewah nan megah itu.Wajah Ayah dan Ibunya selalu terbayang dalam benak Ananda. Setiap langkah, setiap saat, dan setiap hembusan nafasnya. Teringat masa-masa indah, sebelum kepergian orang tuanya. Saat dimana ulang tahun terakhirnya dirayakan. Saat dimana Ayah dan Ibunya memberinya dolphin doll itu. Dolphin doll yang tak pernah lepas dari tangan kecilnya.

***

Habis gelap, terbitlah terang. Ungkapan yang tepat untuk Riko dan Nanda saat ini. Allah menjawab derita mereka. Setelah berbulan-bulan hidup terlantar dalam ketidak pastian, kini mereka telah mendapatkan tempat tinggal.

Di dekat rel kereta api diujung jalan sana ada sebuah gubuk kecil yang tak berpenghuni. Sangat kotor dan berdebu tentunya. Atapnya yang terbuat dari sebilah seng juga sudah agak rusak dan berlubang-lubang. Namun masih layak untuk di tempati beberapa orang. Meski tak semewah dan sebesar rumah mereka dulu.

“Allah memang Maha Penyayang” kata Riko, tersenyum. Kepalanya diputarkan kearah Nanda yang ia gandeng.

“Iyah kak” Nanda membalas senyum Riko. Wajahnya bersinar. Meski masih terselip kesedihan dimatanya.

Sesegera mungkin mereka masuk. Setelah meletakkan tas kumalnya, Riko keluar, hendak memperbaiki atap gubuk itu.

“Hati-hati kak” Seru Nanda melihat Riko yang sudah mendarat diatas gubuk.

“Iyah”

“Mau Nanda bantu kak ?”

“Enggak usah, Nanda didalam saja”

Tak ingin membantah perintah Riko, Nanda beranjak masuk.

Langit sore menyambut. Sang surya perlahan menghilang, bersama munculnya awan mendung yang menggumpal. Para pekerja bangunan mulai bepergian dari gedung-gendung pencakar langit yang tak kunjung jadi.

Riko sedang berdiri didepan Pondok, melihat sepenggal matahari yang kian lama kian menghilang. “Terimaksih Tuhan, semoga Ayah dan Ibu bahagia disana” Desahnya dalam hati.

***

Usia Nanda kini menginjak 9 tahun, sedangkan Riko 16 tahun. Itu berarti 4 tahun sudah Nanda bertumpu pada Riko, kakaknya. Dan sudah 3 tahun pula gubuk tua di dekat rel kereta api diujung jalan sana menjadi sejarah hidup mereka. Nanda pun sudah mulai mengerti arti kepergian kedua orang tuanya.

Terik matahari sangat menyengat kulit siang itu. Nanda sedang bermain dengan dolphin dollnya, sambil menunggu kepulangan Riko. Tiba-tiba teriakan seorang bapak tua mengagetkannya.

“Nanda…..!! Nanda…. !! Kakak kamu…. !! Kakak kamu….!!”

Dari kejauhan tampak seorang bapak tua berlari menghampirinya.

“Kakak kenapa Pak?”

“Kakak kamu tiba-tiba pingsan di perempatan jalan sana” Kata Pak tua itu ngos-ngosan. Menunjuk jalan besar yang tak jauh dari tempatnya berada.

Ananda terdiam. Membisu. Terik matahari siang itu bagai mengeluarkan petir. Detak jantungnya tak karuan. Butiran-butiran air jernih memenuhi pipinya. Tangannya dingin. Sungguh tak pernah terbayang olehnya. Nanda segera berlari menuju tempat yang ditunjukkan si Bapak tua tadi. Berlari sekencang-kencangnya.

***

Yah, Riko telah tiada. Kanker otak yang sudah lama ia derita tak pernah lagi menjadi perhatiannya semenjak kepergian orang tuanya. Dan hari itu adalah hari dimana Allah melepaskan deritanya.

Seminggu setelah kepergian Riko. Nanda di asuh oleh sepasang suami istri yang telah lama menginginkan seorang anak. Seminggu lalu saat pemakaman Riko, sepasang suami istri yang juga sedang menghadiri pemakaman keluarganya itu melihat Nanda hanya seorang diri dimakam Riko. Saat Nanda pulang, sepasang suami istri itu mengikutinya dari belakang. Setelah mereka tau bahwa Nanda hanya sebatang kara, mereka memutuskan untuk mengadopsi Nanda. Nanda tak menolak. Pikirnya ini adalah awal dari kebahagiaan yang diinginkan Riko untuknya.

23 Agustus. Hari ini hari ulang tahun Nanda.

Saat sedang membereskan barang-barangnya untuk pindah ke rumah orang tua angkatnya, ia menemukan sebuah kotak kecil yang berisi kalung bertuliskan namanya. Dibawah kalung itu terselip secarik kertas putih. Karena penasaran, Nanda membukanya. Disekitar tulisan dalam kertas itu ada bintik-bintik merah. Darah Riko yang sudah mengering. Surat itu Riko tulis di saat-saat terakhirnya sebelum meninggalkan Nanda.

Dear Ananda,

Adikku sayang…..

Maafkan kakak yang sampai detik ini belum bisa membahagiakan Nanda. Maafkan kakak yang belum bisa jadi kakak yang baik buat Nanda. Kakak tak pernah berniat meninggalkan Nanda. Tak pernah sama sekali. Kakak ingin selalu bersama Nanda, menjaga Nanda, dan ingin sekali membahagiakan Nanda. Namun ALLAH berkehendak lain adikku. Jangan bersedih adik kecilku. Terus jalani hidup Nanda, jangan biarkan kepergian kakak menghilangkan senyum di wajah Nanda. Kado kecil ini pemberian terakhir kakak untuk Nanda. Meski tak semahal dan sebagus yang Nanda inginkan, kakak harap Nanda menyukainya. Selamat ulang tahun adik kecilku. Semoga ALLAH senantiasa menjaga Nanda dan menuntun setiap langkah Nanda. Kakak selalu menyayangimu adik kecilku. Hari ini, besok dan selamanya.

Peluk cium selalu,

Riko

oleh : Nur Azikhin