Jumat, 17 September 2010

Cerpen (Ketegaran Seorang Mila)

Aku terlahir dari orang tua yang sederhana. Aku tinggal di sebuah desa kecil yang letaknya tak jauh dari kota. Ayahku hanya seorang penggarap sawah dan pekerja serabutan yang penghasilannya pas-pasan. Bahkan kadang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari . Sedangkan Ibuku seorang Ibu rumah tangga yang setiap harinya juga berjualan kue keliling desa untuk membantu ekonomi keluarga kami. Aku adalah gadis remaja yang kini duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Setiap hari sebelum berangkat sekolah aku harus membantu Ibuku membuat beraneka macam kue .

***
Pagi itu, jarum jam baru menunjuk ke angka 04.00 ketika aku bangun. Waktunya aku dan Ibu melakukan aktifitas pertama kami hari ini. Kuketuk pintu kamar Ayah dan Ibu.
“Bu, bangun udah pagi,” kataku dari balik pintu, sambil melengketkan telinga kananku di pintu.
“Ia sebentar,” suara ibu terdengar kecil dari balik pintu.
“Mila tunggu di dapur ya?” Aku beranjak dari pintu kamar Ibu.
Saat jarum jam menunjuk angka 04.15, Ibu baru keluar dari kamar.
“Dari tadi Mil?”
“Nggak kok Bu, ini Mila baru buat adonannya”
“Maaf Ibu agak telat bangunnya”
“Nggak apa-apa kok Bu. Mila ngerti Ibu pasti cape’ karena kemarin jualannya sampai sore”
“Iya Mil. Kemarin kuenya banyak yang belum terjual, jadi Ibu pulangnya sore. Ya sudah, sini Ibu lanjutkan” kata Ibu sambil memegang baskom kecil berisi adonan yang sedang aku aduk.
“Nggak usah Bu, ini udah mau selesai kok”
“Oh ya sudah, kalo gitu Ibu mau ambil bahan-bahan lain yang diperlukan,”Ibu beranjak dari tempatnya menuju lemari yang penuh dengan berbagai macam bahan makanan.
Jarum jam menunjuk ke angka 05.00 ketika aku dan Ibu selesai membuat kue. Adzan subuh menjadi akhir dari aktifitas pertama kami hari ini. Waktunya melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim. Dan bersiap menuju rumah kedua, tempat aku dan anak-anak desa lainnya menuntut ilmu.
“Udah mau berangkat Mil? tanya Ibu ketika melihatku menggendong tas hijauku yang sudah agak lusuh.
Meski lusuh, tas itu menyimpan banyak kenangan . Tas pemberian Ayah, yang di hadiahkan untukku ketika masih duduk di bangku SD. Tas itu juga yang mempertemukan aku dengan sahabatku Ratna.
“Iya Bu, Mila udah mau berangkat” sahutku sambil berjalan kearah Ibu.
“Sarapan dulu Mil”
“Mila kenyang Bu”
“Kalo gitu minum teh hangat ini saja. Nggak baik pagi-pagi perut kamu nggak terisi apa-apa,” celetuk Ibu sambil menyodorkan teh hangat yang selalu Ibu buat setiap paginya.
“Mila berangkat ya Bu,” kataku sambil mencium punggung tangan Ibu, setelah meminum teh hangat yang mengisi perutku pagi ini.
“Iya, hati-hati ya Mil”
“Iya Bu, assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam”

***
Aku berangkat mengendarai sebuah sepeda tua milik Ayah yang selalu menemaniku menelusuri jalan di sepanjang desa menuju tempatku menuntut ilmu. Sebuah sekolah yang menjadi rumah kedua untukku. Karena usai pulang sekolah, di sekolah itu aku menghabiskan waktu hingga sore hari mengajar anak-anak desa yang masih butuh bimbingan melafalkan ayat-ayat Allah.
“Pagi Mil,” Ratna menyambutku dengan senyum pagi ini. Sahabatku ini memang orang yang ramah. Tak heran jika banyak yang menyukainya.
“Pagi Rat,”
“Oh iya, ini uang kamu yang aku pinjam kemarin,” katanya sambil menyodorkan dua lembar uang sepuluh ribuan. Uang itu dipinjam Ratna dua minggu yang lalu karena uangnya tak cukup untuk membelikan Ibunya sebuah baju.
“Nggak usah Rat,”
“Lho kenapa?” tanyanya heran.
“Kamu lebih membutuhkannya dari aku. Lagi pula itu uang tabungan aku sendiri kok”
“Tapi Mil,”
“Udah nggak apa-apa. Kamu itu sahabat aku Rat, apa yang aku punya juga menjadi punya kamu. Apalah arti sebuah uang jika di bandingkan seorang sahabat,”
Obrolan kami pagi itu usai. Begitu juga dengan jam sekolah dan kegiatan mengajar anak-anak desa. Seperti biasa aku tiba di rumah sore hari. Ibu masih belum pulang berjualan, sepertinya hari ini dagangannya masih belum banyak yang terjual. Tak jarang Ibu berjualan hingga malam hari demi membantu ekonomi keluarga kami. Sedangkan Ayah setiap paginya menggarap sawah Kepala Desa. Dari hasil panen itu lah Ayah baru bisa mendapat penghasilan untuk memenuhi kebutuhan kami. Selain menggarap sawah Kepala Desa, Ayah juga bekerja serabutan. Setiap harinya setelah menggarap sawah, Ayah mencari pekerjaan yang di tawarkan oleh penduduk desa yang membutuhkan pekerja sementara.
Saat tiba di rumah, aku mengganti seragam sekolahku dengan pakaian rumah dan jilbab yang sepadan dengan pakaian yang kupakai. Kurebahkan tubuhku di tempat tidur, sejenak beristirahat menghilangkan rasa lelahku seharian ini. Sambil menunggu adzan maghrib, juga menunggu Ayah dan Ibu pulang.

***
“Jadi Ayah akan pergi ke kota ?”
“Iya Bu, Ini demi keluarga kita juga. Demi Ibu dan Mila. Ayah ingin kalian bisa hidup lebih baik lagi. Dan Mila juga bisa terus sekolah hingga menjadi orang sukses. Tidak seperti kita Bu,” nada suara Ayah mulai turun.
Percakapan itu tak sengaja aku dengar ketika hendak ke dapur mencari makan, karena cacing-cacing diperutku sudah tak bisa lagi diajak kompromi. Langkahku terhenti di kamar Ayah dan Ibu. Sejenak terdiam mendengar percakapan mereka.
“Ayah sudah bilang sama Mila ?”
“Belum Bu. Sepertinya ia tak akan setuju jika Ayah memberitahunya. Tapi Ayah akan coba buat dia mengerti”
“Jadi kapan Ayah akan pergi ke kota ?”
“Ayah belum tau Bu. Kata Pak Wono, beliau akan memberi kabar lagi nanti”
Kukurungkan niatku melangkah ke dapur. Cacing-cacing di perutku sepertinya tau perasaanku sekarang. Hingga rasa laparku hilang seketika. Seakan di bawa terbang burung-burung yang melemparnya sangat jauh. Kakiku sepertinya tau tempat yang cocok untuk hatiku saat ini. Aku melangkah ke suatu tempat yang selalu bisa membuat hatiku tenang. Tempatku mengadu pada pencipta-ku. Sebuah Masjid yang tidak begitu besar seperti di kota. Kebetulan saat itu sedang adzan isya. Saat yang tepat untuk mengadu pada pencipta-ku. Menghilangkan semua keluh-kesahku. Sejenak menenangkan hati dan pikiranku.
Kali ini perasaanku jauh lebih baik dari sebelumnya. Ayah dan Ibu sudah tertidur pulas saat aku tiba di rumah. Sepertinya mereka tak tau kepergianku tadi. Waktunya beristirahat menghilangkan rasa lelahku yang amat sangat hari ini. Berharap besok akan jadi hari yang lebih baik dari hari ini.

***
“Astagfirullah. Udah jam segini,” jarum jam menunjuk ke angka 05.15 ketika aku bangun pagi itu. Tandanya Ibu sudah memulai aktifitas pertamanya satu jam yang lalu. Adzan subuh pun sudah berakhir lima belas menit yang lalu. Kulangkahkan kakiku secepat kilat mengambil air wudhu. Usai shalat, aku menemui Ibu di dapur.
“Udah shalat Mil ?” Tanya Ibu ketika aku berjalan ke arahnya.
“Udah Bu. Maaf Mila telat bangun. Ibu kok nggak bangunin Mila ?”
“Ibu lihat sepertinya kamu lelah sekali. Jadi Ibu nggak mau ganggu tidur kamu. Kamu darimana semalam ?” Tanya Ibu menyelidik. Aku tersentak kaget mendengar pertanyaan itu. Dugaanku salah.” Tapi bagaimana Ibu bisa tau kepergianku semalam ?” batinku bertanya-tanya. Entahlah. Yang pasti aku bingung, jawaban apa yang harus aku kelurakan dari mulutku sekarang. Melihat ekspresi Ibu, sepertinya Ibu tau ada yang sedang mengganggu pikriranku saat ini.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan Ibu, muncul lagi pertanyaan lainnya.
“Apa kamu sedang ada masalah Mil ?”
“ng. . . ng. . . nggak Bu” jawabku ragu.
“Ya sudah kalo memang tidak ada, sebaiknya kamu mandi kemudian bersiap ke sekolah”
Tepat pukul 07.00 aku berangkat dari rumah. Pagi itu aku tak sempat bertemu Ayah. Sepertinya Ayah sudah berangkat ketika aku mandi.

***
“Kak. . . . ! ! ! teriak Ikhsan sambil berlari menghampiriku. Sore itu kegiatannku mengajar usai lebih cepat dari biasanya. Karena hanya beberapa anak saja yang hadir.
“Kak, ini ada titipan dari Ibu saya,” katanya sambil menyodorkan sebuah amplop putih polos.
“Ini apa Ikhsan ?” tanyaku bingung.
“Ikhsan juga nggak tau kak. Tadi waktu mau berangkat kesini, Ibu menitipkan itu pada saya dan menyuruh saya memberikannya pada kak Mila,” jelas Ikhsan dengan napas yang masih ngos-ngosan.
“Oh iya. Makasih ya ? tolong sampaikan salam kakak pada Ibu kamu”
“Iya kak. Kalo begitu saya pulang duluan ya ? assalamu’alaikum”
“Iya hati-hati. Wa’alaikum salam”
Amplop putih itu aku masukkan ke dalam tas. Entah kenapa aku ragu membukanya sekarang. Namun, sepanjang perjalanan pulang pikiranku terpusat pada amplop itu.
“Jadi kamu belum membuka amplop itu Mil ?”
“Belum Bu. Ini Ibu saja yang buka,” ampolp itu aku serahkan pada Ibu.
“Alhamdulillah Mil”
“Ada apa Bu ?”
“Coba kamu lihat ini,” Ibu memperlihatkan isi amplop putih itu.
Amplop itu berisi tiga lembar uang sepuluh ribuan. Mungkin jumlah yang tak cukup banyak bagi orang-orang kota. Tapi tidak demikian dengan kami.
“Tapi kenapa Ibu Ikhsan memberikan uang itu pada Mila ya Bu ?” sekarang aku diliputi tanda tanya besar.
“Mungkin itu sebagai tanda terima kasih Ibu Ikhsan pada kamu, karena kamu sudah lama mengajarkan Ikhsan ngaji,” jelas Ibu panjang lebar.
“Tapi Mila nggak enak kalau menerima uang itu Bu”
Obrolanku dengan Ibu usai. Aku beranjak ke kamar. Dan berniat mengembalikan uang itu besok.

***

“Assalamu’alaikum,” kata seseorang dari luar rumah.
Pagi itu aku sedang membereskan tempat tidurku. Sementara Ibu sedang memasak sarapan pagi untuk Ayah. Bubur Ayam. Itu lah satu-satunya makanan yang bisa membuat lidah Ayah berguncang.
“Wa’alaikum salam,” Ibu beranjak ke luar ketika mendengar suara itu.
“Ma’af Bu menganggu pagi-pagi ”
“Iya. Tidak apa-apa. Cari siapa ya Pak ?”
“Pak Rantonya ada ?”
“Oh, Bapak sedang mandi. Sebentar saya panggilkan. Mari silahkan masuk,”
ibu mempersilahkan orang itu masuk. Seorang lelaki muda berpakaian kantoran lengkap dengan dasi dan tas yang sdang ia genggam. Sepertinya lelaki itu dari kota. Dan dari raut wajahnya, bisa di perkirakan dia berusia sekitar 20 tahun. Usia yang cukup muda untuk mengurusi urusan kantor. Terlihat sedan merah yang sedang parkir di depan rumah. Mobil itu terlihat kotor, karena ulah lumpur-lumpur sepanjang jalan desa. Melihat lelaki itu aku teringat percakapan ayah dan Ibu malam itu. “Mungkinkah ini orang yang Ayah maksud ?”
“Udah mau berangkat Mil ?” tanya Ibu ketika melihatku keluar dari kamar.
“Iya Bu”
“Kamu Mila kan ?” tanya lelaki itu tiba-tiba.
“Iya Pak”
“Udah kelas berapa kamu sekarang ?”
“Harus kah aku jawab pertanyaan anda ?” gumamku dalam hati.
“Mila. Ditanya kok diam saja ?” Ibu turun tangan melihat tingkahku.
“Kelas 3 SMP”
“Berarti sebentar lagi ujian ya ?”
Kali ini aku hanya mengeluarkan senyum pahit.
“Mila berangkat Bu. Assalamu’alaikum,” kataku usai mencium punggung tangan Ibu.
“Wa’alaikum salam. Hati-hati ya nak ?”
“Iya Bu,” aku beranjak mengayuh sepeda tua Ayah.
Sementara Ibu dan lelaki itu melanjutkan percakapan mereka. Entah apa yang mereka bicarakan. “Mungkinkah tentang rencana keberangkatan Ayah ke kota ?”. Entahlah.
“Astagfirullah. Amplop itu. Aku lupa membawanya”
Di tengah perjalanan aku teringat amplop putih pemberian Ibu Ikhsan kemarin. Aku berbalik arah kembali ke rumah. Hendak mengambil amplop itu, kemudian mengembalikannya pada Ibu Ikhsan.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam,” jawab Ayah, Ibu dan lelaki itu serempak.
“Ada apa Mil ?” kok kembali lagi ?” tanya Ayah bingung.
“Ada yang ketinggalan Yah”
“Apa amplop itu Mil ?” tanya Ibu
“Iya Bu. Mila mau kembalikan amplop itu pada Ibu Ikhsan”
“Ya sudah. Sebentar Ibu ambilkan” Ibu beranjak ke kamar.
“Ini amplopnya Mil” kata ibu menyodorkan amplop putih itu.
“Makasih Bu. Ma’af sudah merepotkan. Assalamu’alaikum” aku bergegas pergi. Sepertinya aku akan terlambat pagi ini.

***

“Mila sini sebentar. Ayah mau bicara sesuatu,” Ayah memanggilku ketika hendak ke dapur menemui Ibu.
“Ada apa Yah ?”
“Jadi begini. Ayah akan pergi ke kota untuk mencari pekerjaan. Lelaki yang datang tadi pagi itu adalah Pak Wono. Pak Wono itu lah yang nanti akan mencarikan Ayah pekerjaan di kota,”
“Lalu ?”
“Nah, Ayah akan berangkat ke kota besok pagi. Dan Ayah harap kamu setuju kalau Ayah pergi ke Kota”
“Tapi kenapa harus ke kota sih Yah ?, Kota itu kan tempatnya nggak baik. Ayah tau kan ?” jelasku agak kesal. Berbagai opini masyarakat tentang bagaimana kejamnya hidup di Kota, Hiruk-piuknya Kota yang akrab dengan dunia malam dan masih banyak lagi opini-opini masyarakat yang membuatku tak merelakan Ayah yang aku sayangi menginjak tempat itu.
“Iya, iya Mila. Ayah tau”
“Lalu kenapa Ayah mau pergi ke Kota ?”
“Mila, ini semua Ayah lakukan agar kita bisa hidup lebih baik. Ayah ingin kamu bisa terus sekolah. Dan meraih semua cita-cita kamu”
“Tapi Yah ?”
“Mengertilah Mila. Pendapatan Ayah tak akan cukup untuk membiayai kamu sekolah jika Ayah terus-terusan di desa dan hanya bekerja seperti ini,” nada suara Ayah mulai turun, bergetar. Baru kali ini aku melihatnya meneteskan air mata. Begitu besar keinginannya untuk menyekolahkanku. Aku beruntung mempunyai Ayah sepertinya.
Sering terbesit dalam benakku, “Aku ingin segera menggapai semua cita-citaku, agar Ayah dan Ibu tak lagi seperti ini. Ibu tak perlu lagi berjualan kue keliling desa hingga larut malam. Ayah tak perlu lagi menggarap sawah orang dan bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan kami. Bahkan tak perlu jauh-jauh ke Kota mencari pekerjaan. Aku ingin Ayah dan Ibu beristirahat. Menikmati masa tua mereka. Cukuplah sudah selama ini aku menjadi beban mereka”.
“Maafkan Mila Ayah, maafkan Mila Ibu. Mila belum bisa membahagiakan Ayah dan Ibu. Mila belum bisa mewujudkan semua keinginan Ayah dan Ibu. Mila belum bisa menjadi anak yang bisa kalian banggakan. Mila janji. Mila janji pada Ayah dan Ibu. Mila akan belajar sungguh-sungguh agar bisa membahagiakan Ayah dan Ibu. Agar bisa membuat Ayah dan Ibu bahagia,” batinku menangis. Menangis sejadi-jadinya.

***
Sore itu aku baru pulang mengajar. Saat tiba di rumah aku melihat sedan putih yang parkir di depan rumah. Hatiku berdegup kenjang. Pikiranku tertuju pada lelaki muda yang membawa Ayah ke Kota 3 tahun lalu. Ya, ini adalah tahun ke-3 semenjak Ayah meninggalkan Desa. Ayah pergi tanpa pamit padaku. Tak kusangka malam itu adalah kali terakhir aku berbicara dengannya. Namun, selama di Kota Ayah selalu menghubungi aku dan Ibu. Melalui telepon rumah kepala Desa lah Ayah kerap kali menghubungi kami. Kepala Desa yang tau bagaimana keadaan kami, tak pernah marah jika Ayah menelepon. Bahkan, katanya beliau senang membantu kami. Selain bijaksana, beliau juga orang yang baik. Tak heran jika penduduk desa memilih beliau menjadi Kepala Desa.
Aku melangkah masuk. Di ruang tamu rumah kami yang tidak begitu besar, terlihat Ibu dan seorang lelaki sedang berbincang-bincang. Mereka terlihat sangat akrab. Bagai kawan lama yang lama tak bertemu. Tawa Ibu juga baru terlihat setelah sekian lama tak muncul. Semenjak kepergian Ayah, Ibu lebih banyak diam.
Lelaki itu memakai pakaian kantor lengkap. Persis dengan pakaian kantor yang pernah di kenakan oleh lelaki yang membawa Ayah ke Kota. “Mungkinkah itu lelaki yang sama ?” aku tak bisa melihat wajahnya, karena posisi duduknya yang membelakangiku.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam,” lelaki itu berbalik ketika mendengarku mengucapkan salam. Wajah itu, sangat tak asing di mataku.
“Ayah ?, benarkah itu Ayahku ?”
“Iya Mila. Ini Ayah nak,” suara itu semakin meyakinkanku.
“Iya. Dia Ayahku,” batinku ikut meyakinkan. Aku segera beranjak dan menghambur kepelukannya. Kebahagianku kembali seketika, setelah 3 tahun redup.
Ayah menceritakan semua yang beliau alami selama di Kota. Bagaiamana susah senangnya hingga bisa menjadi seperti sekarang. Ayah bekerja di kantor Pak Wono sebagai daller mobil. Pekerjaan yang cukup baik untuk meujudkan keinginannya untuk terus menyekolahkanku. Banyak hikmah yang dapat aku ambil dari semua kejadian itu.
Dua minggu setelah Ayah pulang, Ayah mengajak aku dan Ibu pindah ke kota. Ibu tak lagi berjualan kue keliling Desa, melainkan membuka Toko kue di Kota. Anak-anak Desa yang aku ajari pun sudah beranjak remaja. Mereka juga sudah fasih dalam melafalkan ayat-ayat Allah. Ada kebahagiaan tersendiri yang aku rasakan melihat mereka telah beranjak remaja. Semoga ilmu yang aku ajarkan pada mereka bisa mereka ajarkan pula pada anak cucu mereka kelak. Kini, aku melanjutkan Studyku di salah satu Universitas Negeri di Kota Malang. Meski aku, Ayah dan Ibu telah tinggal di Kota, setiap minggunya kami kerap kali meluangkan waktu ke Desa.

Oleh : Nur Azikhin